May Day 2020 ditengah Pandemi
Oleh : Heru Budi Utoyo, SH
Hari Buruh Internasional atau biasa disebut dengan May Day yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei merupakan momentum perjuangan bagi buruh untuk menyuarakan isu-isu ketenagakerjaan. Gegap gempita mengiringi sebuah perjuangan, dimana alunan musik penyemangat dan berbagai tulisan tertera di spanduk dan kertas-kertas yang dibawa oleh ribuan buruh yang mengikuti peringatan May Day sebagai ungkapan perasaan dan keinginan adanya perubahan yang lebih baik.
Sebuah momentum tahunan yang dipersiapkan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan dikemas sedemikian rupa untuk mengenang sebuah peristiwa dan perjuangan panjang para buruh untuk mendapatkan hak-haknya, dan momentum inilah digunakan sebagai ajang konsolidasi buruh dan sarana memperjuangkan hak-hak dan kepentingan buruh yang hingga saat ini belum mereka dapatkan sepenuhnya.
Kemudian bagaimana dengan May Day tahun 2020 ini, apakah buruh masih mempunyai semangat untuk memperingatinya? Masih adakah Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mau membangun gerakan aksi di momentum May Day ini dengan mempersiapkan segala sesuatunya agar konsistensi perjuangan tetap terjaga dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan buruh? Nah, pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu menjadi perdebatan tersendiri bagi buruh maupun Serikat Pekerja/Serikat Buruh saat ini, sebab May Day 2020 bersamaan terjadinya musibah bagi bangsa Indonesia dengan adanya Pandemi Covid-19.
Dengan adanya covid-19 telah mempengaruhi segala hal, termasuk ruang gerak buruh dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya. Bagaimana mungkin buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat leluasa untuk dapat memperingati May Day 2020 dan menyuarakan isu-isu ketenagakerjaan seperti tahun-tahun sebelumnya, sementara terdapat kebijakan-kebijakan yang membatasinya, diantaranya adanya Maklumat Kapolri Nomor : mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang didalammya terdapat poin untuk tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang berkumpulnya masa dalam jumlah banyak, baik ditempat umum maupun dilingkungan sendiri, termasuk tidak boleh mengadakan unjuk rasa.
Selain Maklumat tersebut juga ada kebijakan pemerintah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga adanya Peraturan Walikota Semarang Nomor : 28 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Kegiatan Masyarakat Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) di Kota Semarang. Tidak ada yang salah dalam berbagai kebijakan tersebut karena tujuannya adalah untuk penanganan Covid-19 yang meresahkan masyarakat agar tidak menyebar.
Ditengah kondisi semacam ini, maka buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh harus bijak dalam mensikapinya, peringatan May Day tidak harus selalu melibatkan massa banyak, karena ada hal yang lebih penting yaitu bagaimana menjaga kesehatan dan keselamatan buruh supaya terhindar dari penularan covid-19.
Selain persoalan keterbatasan peringatan May Day 2020, persoalan keresahan yang dialami buruh juga menjadi perhatian, karena dalam kondisi ini buruh akan mengalami 3 (tiga) keserasahan sekaligus, keresahan pertama adalah dengan adanya penyebaran virus corona atau covid-19 ini buruh terancam terhadap penularan covid-19 ditempat kerja, bahwa kebijakan untuk tidak keluar rumah ternyata tidak berlaku bagi buruh yang harus menjalankan kewajibannya ditempat kerja, padahal tempat kerja tersebut juga mempunyai resiko terhadap penyebaran covid-19 karena disitulah tempat berkumpulnya puluhan hingga ribuan buruh yang berasal dari berbagai daerah. Maka yang bisa dilakukan buruh hanyalah berdoa dan berusaha menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang disebabkan virus corona.
Kedua bahwa dampak adanya covid-19 ini telah mengancam keberlangsungan kerja bagi buruh, dimana mereka dihadapkan pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Dengan adanya PHK maupun dirumahkan, maka akan mempengaruhi penghasilan yang diterima oleh buruh, karena faktanya tidak semua pengusaha yang melakukan PHK terhadap buruhnya mau memberikan pesangon atau hak-hak lainnya sesuai aturan perundang-undangan, dan yang dirumahkan pun tidak semua pengusaha mau membayar upahnya secara penuh.
Ketiga adalah keresahan dengan adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI. Padahal keberadaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut dari awal sudah ditolak oleh buruh karena dianggap akan merugikan buruh. Bahkan sebenarnya bukan hanya buruh yang menolak, tetapi dari kelompok masyarakat lainnya juga menolak keberadaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Jawa Tengah bahwa RUU Cipta Kerja yang dikemas dalam bentuk Omnibus Law ini syarat kepentingan pemilik modal dan akan merugikan kepentingan buruh, diantaranya bahwa RUU Cipta Kerja lebih fokus terhadap tujuan peningkatan ekonomi Nasional namun telah mengabaikan peningkatan kompetensi dan sumberdaya manusia.
RUU Cipta Kerja ini juga memberi ruang dan peluang bagi tenaga kerja asing untuk menguasai industri dan bahkan jenis pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan oleh pekerja Indonesia. Bahkan yang selama ini diperjuangkan oleh buruh setiap tahunnya yaitu upah layak, maka didalam RUU Cipta Kerja justru akan menghilangkan upah layak berganti dengan upah rendah karena upah minimum Kabupaten/Kota dan Upah minimum sektoral dihilangkan, sementara upah yang ditawarkan adalah upah padat karya dan upah minimum provinsi yang nilainya jelas dibawah upah minimum Kabupaten/kota maupun upah sektoral. Perubahan dalam konsep Pemutusan Hubungan Kerja yang ada didalam RUU Cipta Kerja tersebut juga akan memberi kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK, dan nilai komponen pesangon pun dapat berkurang dari ketentuan sebelumnya karena nilai penghargaan masa kerja dikurangi dan penggantian hak 15% dihilangkan. Selain itu juga terkait dengan hak cuti yang semakin tidak jelas pengaturannya, maka bisa timbul hilangnya hak cuti yang seharusnya diperoleh buruh sebagaimana aturan perundang-undangan sebelumnya.
Meskipun May Day 2020 bersamaan dengan adanya Pandemi Covid-19 dan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di DPR RI, tentunya semangat perjuangan masih melekat pada setiap buruh dan serikat pekerja/serikat buruh, karena May Day akan selalu menjadi momentum perjuangan hingga adanya sebuah perubahan yang lebih baik bagi buruh di Indonesia. Dan sudah semestinya Pemerintah RI dan DPR RI mendengarkan suara buruh dengan menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan membatalkannya, dan fokus pada penaganan covid-19 agar tidak semakin menyebar dan tidak semakin banyak memakan korban, sehingga akan mengurangi keresahan pada masyarakat khususnya masyarakat buruh Indonesia.
(Sumber : Tribun Jateng, 1 Mei 2020)
Penulis : Heru Budi Utoyo, SH
Jabatan : Sekretaris DPW FKSPN Jawa Tengah
Nomor HP : 081 325 136 257